Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Transport Seluruh Indonesia – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PC FSPTSI-KSPSI) Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Provinsi Sumatera Utara, menyatakan penolakan tegas terhadap rekomendasi pemberhentian operasional sementara pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Sumber Sawit Nusantara (SSN).
Penolakan ini disampaikan secara lantang oleh PC FSPTSI-KSPSI Paluta karena mereka menilai rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPRD Paluta tidak mempertimbangkan dampak luas terhadap masyarakat, khususnya para petani dan buruh lokal yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan pabrik tersebut.
Menurut Ketua PC FSPTSI-KSPSI Kabupaten Paluta, Hendra Sutan Rambe, rekomendasi penghentian operasional PT SSN bukan merupakan solusi terbaik. Ia menekankan bahwa langkah tersebut justru akan menimbulkan masalah baru, terutama bagi para petani sawit di Kecamatan Simangambat.
Hendra menjelaskan bahwa PT SSN tidak hanya berperan sebagai investor, tetapi juga sebagai mitra penting dalam menampung hasil panen sawit dari masyarakat. Keberadaan pabrik ini membantu petani dalam menyalurkan hasil pertaniannya tanpa harus menjual ke luar daerah.
“Kalau pabrik ini dihentikan operasionalnya, petani akan kesulitan memasarkan hasil kebun mereka. Harga bisa jatuh, dan penghasilan mereka juga akan terdampak secara signifikan,” jelas Hendra.
Selain itu, ia menyoroti bahwa ada ratusan kepala keluarga yang menggantungkan penghasilan dari pekerjaan sebagai tenaga kerja bongkar muat di pabrik tersebut. Penutupan sementara akan langsung berdampak pada kelangsungan hidup keluarga-keluarga ini.
“Apakah DPRD sanggup menanggung kebutuhan hidup harian mereka jika pabrik ditutup? Ini bukan soal satu-dua orang, tetapi menyangkut nasib ratusan pekerja,” katanya dengan nada tegas.
Lebih lanjut, Hendra mengecam keras rencana pemberhentian operasional PT SSN. Menurutnya, langkah yang lebih bijak adalah dengan meningkatkan intensitas pengawasan dan pembinaan terhadap perusahaan, bukan langsung menghentikan kegiatan produksi.
Ia menambahkan bahwa anggota legislatif seharusnya rutin melakukan pengawasan berkala, bukan hanya melakukan inspeksi mendadak (sidak) satu kali dalam satu periode. Pengawasan seperti itu dianggap tidak cukup untuk memastikan kualitas operasional perusahaan.
“Sidak yang hanya sekali dua kali tidak akan menyelesaikan masalah. Harus ada evaluasi berkala, misalnya setiap tiga hingga enam bulan, bersama dinas terkait,” ujarnya, Kamis (13/6/2025).
Dengan pengawasan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan, lanjut Hendra, kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan perusahaan bisa langsung ditangani dan dibenahi tanpa harus menghentikan seluruh operasionalnya.
Ia juga meminta agar anggota DPRD tidak mengambil keputusan berdasarkan emosi semata. Menurutnya, keputusan seperti ini harus didasari analisis yang mendalam dan mempertimbangkan dampak sosial ekonomi secara menyeluruh.
“Investor adalah aset daerah. Kalau kita bertindak gegabah, bisa-bisa investor enggan menanamkan modal di daerah ini ke depannya,” ujar Hendra.
Ia menekankan pentingnya menjaga iklim investasi yang kondusif demi keberlangsungan pembangunan daerah, termasuk di sektor pertanian dan industri pengolahan hasil kebun seperti sawit.
Hendra berharap agar ke depan ada perubahan dalam pola pengawasan terhadap perusahaan, yakni lebih proaktif dan solutif. Tujuannya adalah untuk menjaga agar operasional tetap berjalan sambil memastikan perusahaan tetap mematuhi aturan.
“Jangan sampai dengan niat memperbaiki, justru kita malah menimbulkan kerusakan dan memperparah kondisi ekonomi masyarakat,” tambahnya.
Sebagai penutup, ia mengingatkan bahwa keberlanjutan sektor pertanian dan stabilitas ekonomi masyarakat harus menjadi prioritas utama. Keputusan apapun dari DPRD harus mengedepankan kesejahteraan rakyat.