Pemuda merupakan aset penting dalam pembangunan sosial masyarakat. Di tengah pesatnya perkembangan zaman dan kompleksitas tantangan yang dihadapi, peran pemuda semakin strategis dalam menciptakan perubahan yang positif di lingkungan sekitarnya (Raco, 2010). Tidak hanya sebagai agen perubahan (agent of change), pemuda juga diharapkan menjadi motor penggerak dalam kehidupan sosial, keagamaan, dan kebudayaan (Soetomo, 2014). Dalam konteks lokal, banyak komunitas pemuda tumbuh dan berkembang di lingkungan masjid. Remaja masjid menjadi salah satu bentuk organisasi kepemudaan yang berakar langsung di tengah masyarakat, memiliki nilai-nilai keagamaan yang kuat, dan berpotensi besar dalam membentuk karakter generasi muda yang berakhlak mulia serta berorientasi pada kepentingan bersama (Kartono, 2010). Namun, tidak semua organisasi remaja masjid berjalan secara ideal. Berbagai dinamika internal seperti kurangnya komunikasi yang efektif, lemahnya kerjasama tim, hingga tidak meratanya partisipasi anggota sering kali menjadi hambatan dalam pelaksanaan kegiatan. Hal ini menyebabkan potensi yang dimiliki organisasi remaja masjid tidak berkembang secara maksimal dan berujung pada rendahnya kontribusi nyata terhadap lingkungan sosial.
Situasi tersebut juga ditemukan dalam organisasi Remaja Masjid Amanah yang berada di Jalan Eka Bakti, Kelurahan Gedung Johor, Kecamatan Medan Johor. Berdasarkan hasil asesmen awal yang dilakukan bersama pembina remaja masjid, terlihat bahwa kondisi internal organisasi masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar. Salah satunya adalah kurangnya kekompakan dan kerjasama yang solid antaranggota. Aktivitas yang melibatkan partisipasi kolektif kerap kali hanya dijalankan oleh segelintir anggota, sementara yang lain kurang aktif terlibat. Ketidakseimbangan ini tidak hanya memengaruhi efektivitas kegiatan, tetapi juga berisiko menimbulkan konflik atau perpecahan dalam struktur organisasi. Sebagai institusi yang berperan dalam merumuskan arah kebijakan pembangunan, termasuk pembangunan sosial dan kepemudaan, Bappelitbang Provinsi Sumatera Utara memandang penting untuk mendorong penguatan kapasitas organisasi kepemudaan berbasis komunitas, termasuk remaja masjid. Pendekatan yang digunakan tidak hanya bertumpu pada pemberian arahan normatif, tetapi melalui keterlibatan langsung dalam proses asesmen, perencanaan, hingga pelaksanaan kegiatan bersama dengan komunitas sasaran (Nasution, 2018). Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap intervensi sosial benar-benar menjawab kebutuhan di lapangan serta mampu menciptakan dampak yang berkelanjutan.
1. Engagement, Intake, dan Contract. Tahap awal dimulai dengan membangun hubungan awal yang suportif dan komunikatif bersama pihak internal organisasi, yaitu pembina dan ketua Remaja Masjid Amanah. Kegiatan ini dilakukan secara informal namun tetap terarah, dengan tujuan menciptakan rasa aman, saling percaya, dan keterbukaan antar pihak. Proses engagement ini menjadi fondasi penting dalam menciptakan suasana kerja sama antara pekerja sosial dengan organisasi sasaran. Dalam pertemuan awal ini pula dibahas konteks umum dinamika organisasi dan kesediaan pihak terkait untuk terlibat dalam kegiatan intervensi sosial. Selanjutnya dilakukan intake, yaitu pengumpulan informasi awal mengenai kondisi umum organisasi dan struktur internalnya. Dari hasil percakapan awal dan pengamatan, ditetapkan kontrak kerja informal dengan kesepakatan bahwa intervensi akan difokuskan pada peningkatan kekompakan tim, membangun komunikasi yang lebih terbuka, serta memperkuat partisipasi aktif anggota. Tahapan ini ditutup dengan penetapan waktu dan komitmen pelaksanaan dari semua pihak yang terlibat.
2. Assessment. Asesmen dilaksanakan secara partisipatif dan mendalam bersama pembina Remaja Masjid Amanah yang berlokasi di Jalan Eka Bakti, Kelurahan Gedung Johor, Kecamatan Medan Johor. Tujuannya adalah memahami sejauh mana efektivitas hubungan sosial dan kerja tim dalam organisasi, serta mengidentifikasi secara spesifik titik-titik lemah dalam dinamika internal. Proses asesmen dilakukan melalui observasi partisipatif dalam beberapa kegiatan dan diskusi informal dengan anggota aktif maupun yang pasif. Hasilnya menunjukkan bahwa organisasi mengalami hambatan dalam hal kekompakan dan koordinasi.
3. Planning (Perencanaan). Berdasarkan hasil asesmen, dirancanglah kegiatan yang mampu menjawab langsung kebutuhan organisasi. Perencanaan dilakukan secara kolaboratif bersama ketua organisasi dengan mempertimbangkan nilai partisipatif, kesederhanaan, dan keterlibatan penuh anggota. Kegiatan yang dipilih adalah kerja bakti membersihkan lingkungan masjid, karena dinilai praktis, relevan dengan konteks keorganisasian, dan memiliki dampak ganda—baik secara internal terhadap solidaritas anggota, maupun secara eksternal terhadap citra organisasi di masyarakat. Perencanaan juga menyertakan alokasi tugas, waktu pelaksanaan, penyediaan alat kebersihan, serta strategi mendorong keterlibatan anggota yang kurang aktif. Tidak hanya itu, kami juga merancang mekanisme pengamatan selama kegiatan berlangsung dan bentuk evaluasi yang akan dilakukan secara reflektif dan santai.
4. Intervensi Langsung. Intervensi dilakukan dalam bentuk kegiatan gotong royong membersihkan area sekitar Masjid Amanah, yang merupakan titik temu publik dan memiliki makna simbolik bagi masyarakat sekitar. Seluruh anggota dilibatkan secara aktif dan dibagi ke dalam kelompok kecil untuk menyelesaikan bagian-bagian tertentu, sehingga memunculkan interaksi, kerja sama, serta rasa saling bergantung. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ruang untuk mempererat hubungan antaranggota, tetapi juga memperlihatkan peran kolektif mereka dalam merawat lingkungan masjid. Selama kegiatan berlangsung, tampak adanya perubahan dinamika yang positif, seperti anggota yang sebelumnya pasif mulai menunjukkan inisiatif, serta muncul candaan dan obrolan santai yang menandakan suasana menjadi lebih cair. Hal ini memperkuat tujuan intervensi, yakni membentuk budaya organisasi yang lebih terbuka, inklusif, dan kolaboratif.
5. Monitoring dan Evaluasi. Monitoring dilakukan secara langsung selama pelaksanaan kegiatan, melalui observasi terhadap pola interaksi, sikap kerja sama, dan keterlibatan emosional anggota. Catatan lapangan dibuat untuk mencatat dinamika yang muncul, termasuk tantangan seperti anggota yang kurang siap secara teknis atau perbedaan pendapat kecil di lapangan. Evaluasi dilaksanakan sesaat setelah kegiatan dalam bentuk diskusi santai bersama seluruh peserta. Feedback yang masuk menunjukkan bahwa kegiatan ini berhasil mencairkan suasana dan mendorong keterlibatan anggota yang sebelumnya enggan tampil aktif. Beberapa peserta mengungkapkan bahwa mereka merasa lebih mengenal rekan sesama anggota dan mengapresiasi suasana kerja sama yang tercipta. Evaluasi ini juga menjadi refleksi bersama bahwa kegiatan semacam ini penting untuk dilakukan secara berkala sebagai sarana menjaga semangat kolektif dan solidaritas organisasi.
6. Terminasi. Tahapan terminasi dilakukan secara bertahap dengan memastikan bahwa proses intervensi telah menghasilkan dampak yang dapat dirasakan oleh seluruh pihak. Intervensi ini tidak ditutup secara formal dengan seremoni, tetapi melalui penegasan ulang dalam diskusi akhir bahwa kegiatan gotong royong akan dijadikan sebagai bagian dari agenda rutin organisasi. Selain itu, saya menyerahkan catatan hasil kegiatan kepada pembina dan ketua organisasi sebagai bahan dokumentasi dan evaluasi lanjutan. Proses terminasi juga mempertegas bahwa keberhasilan perubahan tidak hanya dilihat dari kegiatan satu kali, melainkan dari komitmen keberlanjutan yang dibangun oleh anggota sendiri. Dengan pendekatan ini, terminasi berfungsi sebagai jembatan untuk transisi dari intervensi eksternal menuju pengelolaan internal yang mandiri dan berkelanjutan.
Kegiatan intervensi sosial bersama Remaja Masjid Amanah membuktikan bahwa pendekatan yang partisipatif dan berbasis kebutuhan komunitas mampu mendorong perubahan positif dalam dinamika organisasi kepemudaan. Melalui tahapan asesmen hingga evaluasi, terlihat bahwa masalah kekompakan dan kurangnya kerjasama tim dapat diatasi secara bertahap ketika anggota dilibatkan langsung dalam aktivitas yang mendorong interaksi dan kolaborasi. Kegiatan bersih-bersih lingkungan masjid menjadi sarana yang efektif untuk membangun kembali solidaritas internal serta menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama terhadap organisasi dan lingkungan. Meskipun tidak semua kendala dapat diatasi secara instan, langkah kecil ini telah membuka ruang dialog, mempererat hubungan antaranggota, dan membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya keterlibatan aktif dalam kehidupan organisasi. Diharapkan ke depannya, kegiatan serupa dapat dilakukan secara berkelanjutan agar tercipta kultur organisasi yang lebih solid, terbuka, dan adaptif terhadap tantangan sosial di lingkungan sekitarnya.
Artikel ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Hazel Arrazeq, Fajar Utama Ritonga, dan Randa Putra Kasea Sinaga dari Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.