loading…
Pemerintah masih belum menentukan nasib PPDB jalur zonasi apakah akan dihapus atau tidak. Foto/SINDOnews.
Prof Tuti Budirahayu mengatakan, persoalan mendasar dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi berakar pada ketimpangan kualitas dan distribusi sekolah di Indonesia. “Selama ini, kualitas sekolah seringkali ditentukan oleh kemampuan dan harapan kelompok masyarakat,” katanya, dikutip dari laman Unair, Jumat (20/12/2024).
Baca juga: Sistem Zonasi Dievaluasi, Mendikdasmen Ungkap Kelemahan dan Kelebihannya
Lebih lanjut, Prof Tuti menjelaskan bahwa secara sosiologis, sekolah berkualitas cenderung tumbuh di lingkungan masyarakat strata menengah-atas yang memiliki sumber daya lebih besar. Sebaliknya, masyarakat menengah-bawah sering kali harus menerima sekolah yang minim fasilitas, baik dalam hal sarana-prasarana maupun mutu tenaga pengajar.
Ketimpangan itu, menurut Prof Tuti, telah membentuk dikotomi yang tajam. Anak-anak dari sekolah dengan fasilitas seadanya tidak dituntut mencapai prestasi akademik tinggi, sementara sekolah unggulan menjadi eksklusif bagi kelompok tertentu. Implementasi zonasi justru menjadi tantangan besar karena memaksa semua pihak untuk menghadapi kenyataan ketimpangan ini secara langsung.
Baca juga: Terbuka Peluang PPDB Zonasi dengan Sistem Baru Diterapkan Tahun Depan
Meski zonasi bertujuan mulia, yaitu pemerataan akses pendidikan, pelaksanaannya sering memunculkan polemik. Prof Tuti menekankan bahwa kembali ke sistem rayonisasi akan menghilangkan semangat pemerataan pendidikan.
“Jika kita kembali ke rayonisasi, kita mundur dalam upaya memberikan akses pendidikan yang adil dan merata,” jelas Prof Tuti.
Namun, ia juga mengakui bahwa sistem zonasi memerlukan penyempurnaan. Salah satu solusi yang ia usulkan adalah peningkatan kualitas sekolah di seluruh wilayah. “Negara harus berpihak pada peningkatan kualitas sekolah dan guru,” pungkasnya.
(nnz)